Puisi
Puisi tidak ada lagi menjadi telinga atau segumpal ingatan yang tajam dalam dada, hanya sebatas tiupan angin yang dihadirkan saat keringat matahari mulai berdiri Puisi berjalan seperti alif menusuk bulan purnama dengan lembut dan menyulam selembar angin dari setiap sudut desa dan legukan tanah yang diasuh oleh doa Sulit dimengerti sebab puisi adalah makhluk tuhan yang berdemensi, iya membaca apa saja dan siapa saja lalu mengikatnya seperti jaring laba-laba Puisi selalu mengeja realita dengan kata yang melibatkan sandiwara dan bermetafora mengajak ingtan menggali peristiwa dengan dalam hingga sulut ilalang gontai dalam perjamuan meja makan Kulihat mereka yang bertubuh puisi berdesis dalam semak-semak kehidupan dan berteduh dibawah rembulan, menyisir rambut panjangnya dan melukis kukutanganya dengan darah saudaranya Aku mulai tidak mengerti, puisi hanya sebagai mimpi yang dilepaskan sehabis hati terlukai atau sebatas kata yang tak bertepi, seperti angin yang tak ditemukan ujung